Sejak berdirinya, Nahdlatul Ulama telah melahirkan banom-banom berdasarkan kelompok usia dengan faham ahlussunnah wal jama’ah. Muslimat NU, GP Ansor, dan Fatayat NU yang telah terbentuk ketika itu, ternyata masih menyisakan satu celah lowongan pengkaderan khususnya bagi para remaja usia sekolah. Saat itu sudah marak perkumpulan dengan basis pelajar dan berfaham aswaja yang telah ada seperti Tsamrotul Mustafidin yang didirikan oleh putra-putra NU di Surabaya pada 11 Oktober 1936. Kemudian di Surabaya juga pada tahun 1939 berdiri perkumpulan Persatoean Santri NO (Persano). Di Kota Malang juga lahir sebuah perkumpulan dengan nama Persatoean Anak Moerid NO’ (PAMNO) pada tahun 1941 dan ‘Ikatan Moerid NO’ tahun 1945. Selain itu di luar jawa juga berdiri beberapa perkumpulan yaitu ‘Ijtimauttholabah NO’ (ITNO) tahun 1946 di Sumbawa, kemudian di Madura berdiri pula ‘Syubbanul Muslimin’.
Berdirinya beberapa perkumpulan di atas menunjukkan semangat berorganisasi generasi muda NU pada saat itu sangat tinggi. Namun pada saat itu keberadaan masing-masing perkumpulan pelajar ini tidak saling mengenal meskipun memiliki beberapa persamaan khususnya pada nilai-nilai kepelajaran dan dan faham Aswaja. Inilah kemudian yang mejadi inspirasi berdirinya organisasi pelajar Nahdlatul Ulama. Gagasan ini kemudian disampaikan dalam Konferensi Besar LP Ma’arif NU pada Februari 1954 di Semarang oleh pelajar-pelajar dari Yogyakarta, Surakarta dan Semarang. Atas usul pelajar-pelajar ini pada tanggal 24 Februari 1954, Konbes Ma’arif NU menyetujui berdirinya organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).
Untuk lebih memperkuat eksistensinya, IPNU mengirimkan wakilnya dalam Muktamar NU ke-20 pada tanggal 9 – 14 September 1954 di Surabaya. Dalam sidang pada hari terakhir, Tolchah Mansoer mengemukakan urgensi organisasi IPNU yang kemudian mendapat pengakuan dalam Muktamar sebagai organisasi pelajar di lingkungan NU, dengan persyaratan anggotanya hanya pelajar putra saja, sedangkan untuk putri akan diadakan satu organisasi tersendiri. Di sisi lain dalam sidang gabungan delegasi Muslimat-Fatayat dalam Muktamar tersebut diputuskan bahwa harus ada organisasi serupa IPNU untuk menampung pelajar putri di lingkungan NU dalam suatu wadah tersendiri.
Sekitar tahun 1954, di kediaman Nyai Masyhud yang terletak di bilangan Keprabon Surakarta beberapa pelajar putri yang saat itu sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta mencoba merespon keputusan Muktamar NU ke-20 tentang perlu adanya organisasi pelajar putri NU tersendiri. Diskusi-diskusi ringan dilakukan oleh Umroh Machfudzoh, Atikah Murtadlo, Lathifah Hasyim, Romlah dan Basyiroh Saimuri dengan panduan ketua Fatayat Cabang Surakarta, Nihayah. Gagasan perlunya segera ada wadah untuk menaungi pelajar putri di lingkungan NU ini semakin menguat, mengingat banyak pelajar putri NU dimanfaatkan oleh ormas-ormas yang kebanyakan berafiliasi dengan partai politik di luar NU untuk menjadi anggota bahkan pengurus di sana.
Dibuatlah kemudian draft resolusi pendirian IPNU-Putri oleh tim kecil yang diketuai oleh Nihayah dan sekretaris Atika Murtadlo di kediaman Haji Alwi di daerah Sememen Kauman Surakarta. Rencana resolusi ini juga diberitahukan kepada IPNU yang berkedudukan di Yogyakarta. Utusan yang diberi tugas untuk menemui IPNU di Yogyakarta yaitu Umroh Machfudzhoh dan Lathifah Hasyim. Dalam pertemuannya Umroh menyampaikan permintaan Tim Resolusi IPNU Putri agar PP IPNU dapat menyertakan cabang-cabang yang memiliki pelajar putri untuk menjadi peserta dalam Kongres I IPNU di Malang. Juga disepakati bahwa peserta putri yang hadir di Malang nantinya dinamakan IPNU-Putri.
Hadirlah kemudian pelajar putri dari 5 cabang IPNU dalam Kongres di Malang yaitu; Asiah Dawami (Cabang Yogyakarta), Umroh Machfudzoh Wahib dan Atikah Murtadlo (Cabang Surakarta), Mahmudah Nachrowi (Cabang Malang), Zanifah Zarkasyi (Cabang Lumajang), dan Maslamah (Cabang Kediri). Setelah acara pembukaan selesai, negosiasi formal dilakukan oleh para peserta putri dengan pengurus PP IPNU tentang kelanjutan eksistensi IPNU-Putri. Sempat ada rencana bahwa IPNU Putri (sekarang IPPNU) hanya akan menjadi departemen khusus di dalam tubuh IPNU. Namun pembicaraan tentang kemungkinan ini menjadi alot sebab PP IPNU secara formal tidak pernah merasa mendirikan IPNU Putri dan menjadi buntu sehingga berakhir pada keputusan diadakannya pertemuan intern lebih lanjut di antara utusan putri yang hadir. Ke lima cabang tersebut kemudian mengadakan pertemuan di kediaman KH Nachrowi Thohir di daerah Jagalan, Malang. Setelah berkonsultasi dengan Ketua LP Ma’arif PBNU, KH. M. Syukri Ghazali dan Ketua PP Muslimat NU, Mahmudah Mawardi, justru para pelajar putri didorong untuk mendirikan organisasi tersendiri yang terlepas dari IPNU. Inilah kemudian yang menjadi keputusan dari Konferensi Panca Daerah, yakni konferensi yang dihadiri lima cabang IPNU Putri saat itu.
Keputusan-keputusan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pertemuan yang berlangsung pada 28 Februari - 5 Maret 1955 dan dihadiri oleh utusan dari lima cabang IPNU Putri itu selanjutnya disebut sebagai Konferensi Panca Daerah.
2. Pembentukan organisasi IPNU-Putri yang secara organisatoris dan administratif terpisah dari IPNU.
3. tanggal 2 Maret 1955 bertepatan dengan 8 Rajab 1374 H yaitu hari deklarasi resolusi terbentuknya IPNU Putri ditetapkan sebagai hari lahir IPNU Putri (kelak menjadi IPPNU).
4. Mensosialisasikan pembentukan IPNU Putri kepada pelajar-pelajar putri NU di Seluruh Indonesia.
5. Membentuk wilayah-wilayah serta cabang-cabang di seluruh Indonesia.
6. Mengadakan konferensi besar sekaligus peresmian berdirinya IPNU Putri.
7. Menyusun dan menetapkan Anggaran dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sementara sampai ditetapkan secara resmi dalam Forum Muktamar atau Konbes.
8. Memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU Putri kepada PB Ma'arif NU.
Pada tanggal 4 Maret 1955, dikeluarkan surat persetujuan berdirinya IPNU Putri dari LP Ma'arif PBNU. Selain itu, LP Ma'arif juga mengusulkan perubahan nama menjadi IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama).